Jakarta – Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati membantah tudingan Indonesia sebagai negara dengan kualitas udara terburuk karena Indonesia tidak masuk dalam rilis Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
“Jakarta atau Indonesia sendiri tidak termasuk di dalam negara-negara yang dirilis WHO dari paparan polusi udara dan dampak kesehatan,” kata Dwikorita dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Sabtu. Dia mengatakan Indonesia sudah sering dituding sebagai penyumbang emisi (emitter) gas rumah kaca (GRK) dan parahnya tingkat pencemaran udara. Dwikorita mencontohkan, pada 2004, Reuters menurunkan tulisan yang menyebut Indonesia sebagai negara emitter terbesar ketiga dunia karena deforestasi, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan. Tulisan tersebut didasarkan pada laporan penelitian yang dibuat oleh sebuah lembaga konsultan penelitian lingkungan Indonesia yang mendapat sponsor dari Bank Dunia dan British Development Arm. Pada 2014, World Resources Institute (WRI) masih menempatkan Indonesia dalam urutan ke-6 yang menyumbang empat persen dari total kumulatif emisi gas rumah kaca dunia periode 1990-2011. Perhitungan total kumulatif GRK itu sudah menyertakan perubahan guna lahan dan kehutanan. Namun pada 2017, sebuah penelitian terbaru oleh Boden, dkk (2017) yang berjudul National CO2 Emissions from Fossil-Fuel Burning, Cement Manufacture, and Gas Flaring yang diterbitkan oleh Carbon Dioxide Information Analysis Center, Oak Ridge National Laboratory, U.S. Department of Energy, ternyata tidak menyertakan Indonesia di dalam enam negara emitter dunia terbesar. Keenam negara penyumbang emisi dunia yang disebutkan oleh studi tersebut diantaranya Cina, Amerika Serikat, Uni Eropa, India, Rusia dan Jepang. Senada dengan publikasi ilmiah tersebut, laporan Climate Change Performance Index (2018) juga mengeluarkan Indonesia dari 10 besar penyumbang emisi terbesar dunia dan menempatkannya pada ranking 14, meskipun menurut laporan tersebut, Indonesia masih diklasifikasikan sebagai negara berkinerja rendah di 2018 sebab tren masa lalu dan status emisi GRK per kapita saat ini dinilai masih sangat rendah. Secara bukti data, pun hasil pengukuran GRK di Bukit Koto Tabang selama 14 tahun terakhir sejak 2004, laju kenaikan CO2 di Indonesia adalah 1,94 ppm, tidak setinggi konsentrasi hasil pengukuran di Stasiun GAW Mauna Loa (USA), bahkan masih dibawah kenaikan rata-rata global sebesar 2,08 ppm. “Indonesia sudah seringkali dituding sebagai negara yang paling emisif GRK-nya di dunia, namun penilaian dan penelitian lembaga ternama lainnya maupun data riil GRK terukur di lapangan pun membantah tudingan itu,” jelas Dwikorita. Demikian pula dalam hal pencemaran udara baru-baru ini. Pemberitaan media Al Jazeera pada Jumat 17 Agustus 2018 yang bertajuk Air pollution welcomes athletes in Jakarta for Asian Games, bahkan menyatakan bahwa tingkat polusi udara di Jakarta telah meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. “Dengan mengacu standar WHO ada pihak-pihak yang mengatakan pada beberapa hari tingkat polusi udara Jakarta lebih buruk dari pada Beijing,” ungkap Dwikorita. Senada dengan hal itu, pemberitaan BBC Indonesia juga menyebut Jelang Asian Games 2018, Jakarta jadi kota berpolusi udara paling parah di dunia. Mantan Rektor UGM itu menerangkan, tuduhan polusi Jakarta terparah di dunia itu berbeda dengan apa yang dirilis The New York Times, Juni 2017 lalu dimana ranking 10 negara terburuk dalam hal polusi, adalah Cina, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Jerman, Iran, Arab Saudi, Korea Selatan dan Kanada, Penelitian terbaru WHO tentang kota-kota yang paling tercemar di dunia menunjukkan, dari 10 kota paling tercemar di dunia, sembilan di antaranya ada di India dan satu di Kamerun.
Sumber : ANTARA News